Mbiyen kae
Diwoco nganti khatam..
Kopi pasta, bukan plagiat 😀
Kopi pasta, bukan plagiat 😀
Edited: komentator2 di postingan ini menyampaikan kalau ini adalah dawuhnya KH. Muwafiq, matur nuwun tambahan infonya..
Mungkin ini jawaban foto
Islam Kejawaan (Taddaburan/maiyahan) di Indonesia.
Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan
manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering
merasakan berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal : setiap hari
dikirimi doa dan tumpeng.
Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia
Islam galau: di Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam,
di Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol, kok
ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.
Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di
Indonesia kok masih utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia
itu karena memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.
Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda yang sudah
menceritakan santri NU, namanya Christia Snouck Hurgronje. Dia ini hafal
Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi
tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.
Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda.
Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri.
Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan
Belanda.
Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam,
untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck
Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia
belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham
betul Islam.
Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje
bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang
dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.
Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran.
Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti
namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya
sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal
ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya
langgar.
Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van
Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan
belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa
Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.
Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees.
Orang disini makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu
bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .
Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi.
Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana
masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.
Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami
ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya
beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya menir,
disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi,
disana masih ruz, rice.
Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg,
pusing.
Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya
mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge
nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau
rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia)
Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita
apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang
Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di
tanah Arab.
Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah
. Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal
itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk
kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad”
saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa
nyebutnya Kanjeng Nabi.
Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham
Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam
dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati
(essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di
Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan
Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.
Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit,
karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum
terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau
mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih
uang Rp 10 juta belum tentu mau.
Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk.
Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini
sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena
ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia,
namanya Majapahit.
Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas
terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik
dunia yang menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya
bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma.
Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-raya.
Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam
penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti
kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu,
sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para
ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena
disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah.
Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang
Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya
dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah,
orang Jawa punya Lingga Yoni.
Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya
peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda,
orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu.
Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang
sudah tidak membicarakan dunia.
Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau
sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih
ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai
negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.
Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini
kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita
Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu
pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara
soal agama.
Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking
judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria,
yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya
kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca.
Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait
dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu
bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.
Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang
disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa.
Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa
bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa
atau murco.
Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak
makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi
kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang,
gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi
jenglot atau batara karang.
Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal
karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih
mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar
dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan
dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung
daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks
bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran
tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan,
badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul
orang-orang macam Sumanto.
Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya
pergi di ajak mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis
di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan
lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran,
yang tidak bisa dimakan orang Jawa.
Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena
lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan
Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian
mereka diusir.
Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil
Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa
Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi,
Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan
Bajul Sengoro.
Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan
kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim
Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak
perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul
Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.
Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri,
menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah
menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti
air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat
tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.
Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan,
ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu
diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji,
namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap
di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil
Kubro.
Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke
Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama
Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah
Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian
ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.
Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama
Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan
Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas
mengislamkan Majapahit.
Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit
orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat
sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang
anda bisa ditebang.
Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau
mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan :
".... masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu
fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul
kuffar………”
Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam
Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”
Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya,
kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar,
menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya
hamil? Jawabannya adalah padi.
Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti
menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah,
kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran.
Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun,
ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini sudah ada
shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak
kelihatan.
Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat
syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar.
Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian orang
Jawa tentang mati.
Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati
ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan.
Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini
prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan
reinkarnasi. Bagaimana caranya?
Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun
kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang
Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan:
mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah
hafal dengan tembang.
Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi,
tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing
tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun
wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa
suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja
nyanyi: … ndemok silit, gudighen.
Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu
ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang
bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca
perkara Empat.
Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam
raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia.
Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya
keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.
Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma).
Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian
dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat
bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.
Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul,
turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku
Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab
sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging
itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat,
a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )
Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan
bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau
orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya
mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan
cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.
Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca
perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia,
ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas
menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan
hafadzah.
Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer.
Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai
dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin
istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari
di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.
Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang
dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin
perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa
billahil ‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca
aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.
Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan
membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan
kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau
tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama
tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama
terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.
Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu
dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa
kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu
bedanya nur dengan nar.
Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang
yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut
ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk
imunisasi.
Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu,
bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ,
ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main
layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja
kailnya.
Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali
dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal
menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai
jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu
manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah
tangga, rabi, menikah.
Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan
manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel,
manusia mengalami tembang Dhurma.
Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon
mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa
untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu
mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?
Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah
yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak
darma bakti, kesusul tembang Pangkur.
Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah
copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk
masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.
Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu
reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok,
dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya
: siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).
Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru
menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta,
punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir.
“Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”.
“Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang
dimaafkan oleh Allah.”
Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar,
ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya:
”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut
melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti
siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol , ajur mumur
seperti gedhebok bosok.
Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak
– simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan
bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada
yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!
Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian
tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok :
nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang
ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini
ngaji, ya disana mencuri kayu.
Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini:
kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!.
Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih.
Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.
Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana.
Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik
ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan.
Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.
Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan
tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air
bunga: mawar, kenanga dan kanthil.
Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene,
ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh
seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini
piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum
bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang
belum sembahyang, diajari syahadat saja.
Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian
ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang
Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo,
ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang
shalat.
Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol:
kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing
itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon ayo
memanjat mangga.
Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda.
Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin, lha shalat disini,
tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.
Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau
disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri
kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan.
Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.
Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu
dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , –
sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna
lanakunanna minal khasirin.
Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid.
Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. .
Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak
datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi
anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari
situ.
Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama.
Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar ,
matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada
penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah,
ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya
gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho,
sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di
ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar
ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam.
Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal
nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan
dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair:
kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun
gajah.
Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam,
agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang
banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil
‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi
rahmat bagi alam semesta.
Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda.
Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran
kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki
orang Jawa.
Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung.
Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal
baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih
lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya
Ahmadi dan Abdul Kadir.
Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik
dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang
yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti
ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran:
menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan
urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama,
mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.
Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang
tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga
memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu
pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga.
Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.
Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung
lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar
rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah
tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.
Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus
gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun
jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja
Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.
Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang
Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada
Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng,
menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.
Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi.
Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika
kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.
Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera
bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya
tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita
ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah
satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya
dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum
raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup
di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban.
Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan
disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan
ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.
Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para
ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa
baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang
menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul
Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang
tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.
Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai
organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi
organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir
Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di
desa juga ada yang hutang rokok.
Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab
kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng
Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan
ashhabus-shahabat , tetapi tabi’in , maknanya pengikut.
Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in , pengikutnya
pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in ,
pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita
muridnya KH Hasyim Asy’ari.
Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai
Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya
namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul
Halim, Boyolali.
Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul
Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar
murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid
Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.
Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan
Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil
Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul
Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.
Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid
Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid
Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid
Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid
Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin,
murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah,
ini yang baru muridnya Rasulullah saw.
Kalau begini nama kita apa? Namanya ya
tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara
mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.
Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari
menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu
Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman.
Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya.
Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi,
hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda
“titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.
Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang
dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin
Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.
Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri,
sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras.
Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.
Orang Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”.
Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”.
Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”.
Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena
punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku
Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena
punyanya ma ga ba tha nga.
Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”,
maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “
Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu
bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.
Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250
hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran ,
namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham
pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.
Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid
Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT.
Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah.
Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus,
namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang
se-kampung.
Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar
pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid
ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul
Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.
Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau
dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur.
Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.
Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak
dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di
akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya. Orang disini, ketika
disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan
semaan Alquran.
Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca,
tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya
kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.
Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam
Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak
serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo.
Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.
Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang,
seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam
Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari
Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia.
Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti
grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya
meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan
sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.
Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama,
karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser
kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak
enak dengan Mbah Sunan Bonang.
Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada
Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun
anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi
organisasi terbesar di dunia.
Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta,
sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta.
Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup
kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah
bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad,
urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti
ajaran Rasulullah Muhammad saw.
sumber : Agus Sunyoto Lesbumi
sumber : Agus Sunyoto Lesbumi
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق
Tulislah pesan, komentar jg boleh.. tapi dengan bahasa manusia.
Terima kasih..